Papua Tengah Cerah | Kampung Onago yang terletak di Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai, pagi itu tampak masih lengang. Udara dingin menusuk tulang dengan temperatur mencapai 15 derajat celsius. Hujan yang mengguyur perkampungan sepanjang malam baru saja reda.
Di tengah kabut yang perlahan-lahan menghilang, tiba-tiba garis lengkung aneka warna membentang di atas langit. Pelangi atau wanamo dalam bahasa Mee, pagi itu sungguh tampak indah, seiring dengan semburat cahaya fajar yang terbit di ufuk timur.
“Pelanginya indah sekali dan muncul tepat pada saat saya tiba di kampung halaman saya. Saya datang kali ini dalam rangka safari politik saya sebagai Calon Wakil Gubernur Papua Tengah,” ujar Dr. drg. Aloysius Giyai, M.Kes, Kamis, 26 September 2024 melalui pesan whatsapp.
Uniknya, kata Alo, lengkungan pelangi di Kampung Onago (Makikepata) di titik kiri menunjuk pada owaa (rumah khas suku Mee) tempat Alo lahir. Sedangkan di lengkungan ujung kanan menunjuk pada owaa di Kampung Diyai, tempat ia dibesarkan di masa kanak-kanak.
Pelangi serupa muncul pada Sabtu, 28 September 2024. Saat itu, Alo berkunjung ke Kampung Pugo, Kabupaten Paniai, kampung asal mamanya, Yeimomau Yeimo.
Alo menuturkan, usai didoakan oleh para hamba Tuhan dan mama-mama Yeimo, pada saat pulang, ia diantar dengan cahaya pelangi yang sama meninggalkan kampung itu.
“Posisi titik kiri lengkungan pelangi berada di Kampung Pugobado, sedangkan posisi lengkungan titik B berada di Pugomoma, dimana rumah tempat saya baru selesai didoakan,” tuturnya.
Alo adalah Calon Wakil Gubernur Papua Tengah yang berpasangan dengan Willem Wandik, SE,M.Si. Beberapa hari sebelumnya, ia mendampingi Wandik mengikuti aneka giat politik nan Nabire.
Pada Kamis pagi, 26 September 2024, didampingi istri tercinta Nelly Uyo Giyai, Alo tiba di Bandara Waghete setelah terbang setengah jam dari Nabire. Bertemu dengan massa pendukungnya di Deiyai, lalu ke Dogiyai dan Paniai.
“Saya lahir besar di sini dan sekalipun lama tinggal di Jayapura, sejak dulu selalu pulang kampung. Lihat makam orang tua dan kunjung keluarga. Karena dari kampung ini saya lahir dan dibesarkan,” tutur Alo.
Mantan Direktur RSUD Abepura ini menuturkan, fenomena munculnya pelangi ini terjadi tiga kali sepanjang proses politiknya bersama Willem Wandik maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Provinsi Papua Tengah.
Sebelumnya, pelangi pertama muncul pada Rabu, 18 September 2024, saat ia dan Willem menggelar ibadah syukur dan pengutusan di Holtekamp, Kota Jayapura. Pelangi juga membentang indah di senja hari di atas langit tempat mereka berkumpul. Sekitar 500-an warga hadir saat itu memberi doa dan dukungan.
“Sebagai orang beriman, saya percaya ini tanda alam bagi kami. Kami, pasangan WAGI siap menjadi pelangi harapan bagi rakyat Papua Tengah,” tutur tokoh kesehatan Papua berprestasi ini.
Kisah Derita Saat Lahir
Aloysius Giyai lahir di Kampung Onago, Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai, 8 September 1972. Tangis Alo kecil, pecah di pagi-pagi subuh sekitar pukul 05.00 WIP. Menurut cerita sang mama, Yeimomau Albertha Yeimo, sebelum melahirkan Alo, ia bergulat satu hari satu malam lamanya di halaman rumah beralaskan lumpur dan kotoran babi.
Ketika itu, tak ada dokter, perawat, bidan, bahkan kerabat yang datang menolong dan menyambut kehadiran Alo, seperti kelahiran anak-anak lainnya. Hanya sang bapa tercinta, Giyaibo Giyai dan tiga saudaranya, Oktovina Giyai, Hosea Giyai dan Damianus Giyai. Mereka berempat duduk mengelilingi Mama Yeimomau yang terbaring lemah.
Owaa, rumah kecil khas masyarakat Suku Mee, tempat mereka tinggal memang agak jauh dari pemukiman penduduk lainnya di Kampung Onago. Alo adalah anak bungsu dari 8 bersaudara yang lahir di tengah kehidupan keluarga petani Katolik yang miskin kala itu.
“Tak ada dokter, tak ada perawat. Benar-benar susah saat itu. Mama bergumul antara hidup dan mati saat melahirkan saya,” tutur Aloysius dalam bukunya Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua.
Kisah yang sama dialami sang Calon Gubernur Papua Tengah Willem Wandik. Putra pertama dari penginjil Pendeta Ruben Uamang dan Martina Magai ini, dilahirkan di tengah hutan rimba Kampung Bugalaga, Kabupaten Intan Jaya. Bahkan, sang mama awalnya dilarang melahirkan Willem dalam honai karena secara adat tidak diperkenankan.
“Secara adat, kau tidak boleh melahirkan dalam honai ini. Kau harus melahirkan di luar sana. Hutan,” ucap pendeta Simon Wandik sebagaimana tertulis dalam buku biografi Willem berjudul Jalan Damai Menuju Sejahtera.
Simon adalah kakak tertua Mama Martina. Memang dalam tradisi suku Damal, mereka melarang perempuan melahirkan dalam honai. Mereka harus mengungsi ke hutan sampai anaknya lahir. Dan, Mama Martina menjadi salah satu perempuan yang menjalani tradisi itu.
Berhari-hari Mama Martina menahan rasa sakit dari kontraksi rahimnya. Tak ada obat Dukun anak pun tak ada. Puskesmas dan mantri, apalagi. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya berjalan-jalan di sekitar honai pengasingan dan tetap berkebun untuk mengalihkan rasa sakit yang menusuk-nusuk itu.
“Kakak, saya hampir mati kedinginan di luar. Tiga hari saya sudah di luar menunggu kelahiran anak saya. Tetapi hari ini saya tidak kuat. Tolonglah saya untuk masuk honai, Kakak. Saya benar-benar tidak kuat. Biarlah saya masuk honai dan biarkan saya mati dalam honai, Kakak,” teriak mama di luar honai.
Mendengar permintaan itu, sang kakak buru-buru lari menuju honai lelaki di mana suaminya tinggal untuk meminta izin dan menceritakan kondisi adik perempuannya itu agar boleh masuk dalam honai perempuan.
“Iyo sudah. Kau urus dia dan biar saya meminta tolong para pendeta, gembala, dan penduduk untuk berdoa.”
Mama Martina yang sudah duduk lemas di tanah kemudian diangkat kakak dan adik perempuannya berdiri dan menuntunnya ke dalam honai. Tak ada selimut. Tak ada kain. Tak ada tikar. Hanya ada dedaunan hutan yang digelar sebagai persiapan persalinan.
Di malam keempat, tanggal 20 Desember 1975, Mama Martina dalam kepasrahannya di pamungkas malam akhirnya melahirkan anak pertamanya. Seorang bayi lelaki dengan kondisi tubuh dari kepala hingga kaki-terlilit tali pusar. Si bayi mirip sebuah bungkusan.
“Terima kasih, Adik, kau melahirkan anak lelaki. Anakmu ini saya namai Willem. Willem Wandik. Dia akan menjadi orang pintar, orang besar, dan orang terkenal seperti Bapak Willem,” kata Simon.
Ubah Derita Jadi Pelangi
Charles R. Swindoll, seorang penulis dan evangelis radio terkenal di Texas menulis: “Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Kita tak bisa mengubah sesuatu yang tak bisa dihindari. Satu hal yang bisa kita lakukan adalah berpegang pada tali kenangan sambil belajar darinya.”
Semboyan ini rupanya menjadi gelora semangat dan nafas Wandik dan Giyai (WAGI). Dalam keterbatasan, mereka berupaya mengubah nasib lewat pendidikan. Hingga tampil menjadi pemimpin dengan idealisme yang sama: ingin mengubah nasib rakyatnya agar tidak menderita lagi seperti mereka di masa lalu.
Alo terbukti sukses mengubah wajah RSUD Abepura dan RSUD Jayapura yang kumuh menjadi layanan kesehatan terbaik di Papua. Membangun sejumlah fasilitas dan menghadirkan alat-alat kesehatan modern. Lalu menyediakan jaminan kesehatan gratis, mulai dari Jaminan Kesehatan Papua di RSUD Abepura hingga Kartu Papua Sehat (KPS) bagi seluruh Orang Asli Papua di Provinsi Papua.
“Karena saya tidak ingin, penderitaan saya di masa kecil sejak lahir, tidak dialami lagi oleh generasi Papua sekarang dan yang akan datang,” tutur doktor lulusan IPDN Jakarta ini.
Hal yang sama dilakukan Willem Wandik. Saat menjabat Bupati Puncak dua periode, sosok pemimpin dermawan ini melakukan gebrakan pembangunan sektor kesehatan, pendidikan dan infrastruktur dengan masif. Semua Puskesmas dibangun dan ditingkatkan.
Pada 2020, Willem Wandik melakukan kebijakan inovatif untuk mewujudkan penggunaan dana otonomi khusus (otsus) tepat sasaran bagi orang asli Papua (OAP) dengan sebuah kartu yang lebih mirip dengan ATM. Kartu tersebut akan digunakan oleh OAP penerima dana otsus.
“Usulan ini telah disampaikan ke pemerintah pusat, agar pengelolaan dan penyaluran dana Otsus tahap kedua tepat sasaran.,” kata Willem Wandik. Sayangnya karena Covid, program mulia ini tak jadi bisa jalan.
Tetapi kini, Wandik dan Giyai (WAGI), dua putra terbaik Papua Tengah ini bersama-sama dalam satu irama dan visi yang sama pada kontestasi Pilkada Provinsi Papua Tengah. Sejumlah program kerja dan visi misi pun dirancang untuk meletakkan dasar pembangunan di DOB ini.
Mengusung slogan Papua Tengah Cerah, WAGI siap menjadi Pelangi bagi rakyatnya dengan 20 program inovatif yang populis. Di antaranya, di sektor Pendidikan, ada Kartu Sehat Papua Tengah, KESEHATAN BERGERAK (Kaki Telanjang, Terbang, dan Terapung) Rumah Sakit Mantap, dan BAWA PACE (Beasiswa Papua Tengah Cerah).
Sementara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi, ada program TUAN MACE (Bantuan Modal Usaha Cerah), BERKAT CERAH (Bantuan Ekonomi Masyarakat Pra-Sejahtera), Revitalisasi P5 Moanemani, PAS MACE (Pasar Mama-Mama Cerah), BEBAS TERBANG (Bantuan Biaya Subsidi Penerbangan), dan Insentif Pegawai Berbasis Kinerja.
Selain itu, WAGI juga berkomitmen akan Membangun 4.000 Rumah Layak Huni, Pemberian Dana Hibah Pemetaan Tanah Adat, Pemberian Insentif Tetua Adat, dan SINAR NUSA (Sinergi Adat dan Paguyuban Nusantara).
“Kami ingin merangkul seluruh orang di atas tanah Papua Tengah ini dari berbagai suku dan budaya. Mari bersama kami, kita sama-sama membangun provinsi ini dengan landasan kasih dan persaudaraan,” tutur Calon Gubernur Papua Tengah Willem Wandik. ***